Assalamu’alaykum
readers…J
Kali ini nitha akan mengangkat sebuah kisah yang mungkin sudah pernah
kita dengar atau sudah kita ketahui, namun mungkin ada juga yang belum
mengetahuinya.
Sebenarnya nitha juga baru kali pertama ini membaca kisahnya,
sehingga nitha ingin berbagi pengetahuan kepada sahabat-sahabat nitha di dunia
maya ini…J. Kisah ini
terdapat di dalam prolog sebuah buku yang berjudul “Dalam Dekapan Ukhuwah”
karya Salim A.Fillah/Pro-U Media.
Nitha mendapat prolog ini juga dari sahabat nitha yang notabene juga
di dunia maya, kita saling mengirim kabar dan saling bertukar pengalaman atau
bahkan saling bertukar kisah hidup satu sama lain melalui surat elektronik
(red:email). Masyaallah indahnya ukhuwah islamiyah, walau terpisah ribuan
kilometer, tetapi merasa dekat di hati…J
Eh malah nitha jadi cerita panjang lebar nich…hehe. Ya udda yuks
langsung kita simak prolog yang nitha dapat…J
TELAGA ITU LUAS, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di
Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi
sepapak daun tlinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya menghadap hadirin
dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu.
“Marhabban ayyuhal insaan! Silakan mendekat,silahkan minum!”
Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca “Ya
Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan
sepeninggalmu!”
Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi.
Rasanya lebih lembut dari susu lebih manis dari madu, dan lebih sejuk daripada
salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang.
Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka
yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka
jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.
Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi
ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad.
Namanya terpuji di langit dan bumi.
***
Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam
cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang
lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang
terpantul di air telaga. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat
sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi,
menjadi kontras yan menegaskan di kulit putihnya.
Lelaki itu, kita tahu , Narcissus. Dia tak pernah berani
menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang
ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah ditolak
cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa
memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung
yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.
Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan
terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat
hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam.
Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntuk bunga. Orang-orang menyebut
kembang itu, Narcissus.
Selesai
Tetapi Paulo Coelho punya anggitan lain untuk kisah Narcissus.
Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada diriya
sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus,
peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan
tawar menjadi seasin air mata.
“Mengapa kau menangis?” Tanya para peri.
Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus,” katanya.
“oh, aku heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan
selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari
dekat.”
“oh, indahnya Narcissus?”
Para peri hutan saling memandang “ siapa yang mengetahuinya
lebih daripadamu?” kata salah seorang “di dekatmulah tiap hari dia berlutut
mengagumi keindahannya.”
Sejenak hening menyergap mereka .”aku menangisi Narcissus”,
kata telaga kemudian, “tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku
menangisi karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang
terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”
***
Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau
telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita
perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika
manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia
paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita
merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.
Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa
setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian
dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari
sesame, seperti apa yang kita tabor pada mereka. Dari jaraknya, para peri
memang takjjub, namun dalam ketidaktahuan. Sementara telaga itu hanya
menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis
sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiaap-tiap jiwa hanya
takjub pada dirinya.
Tetapi ‘Amr ibn Al-‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala
Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surgapun masih
menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. Telah belasan tahun menjadikan silat
lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu setelah
hari Hudaibiyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama
Khalidibn Al Wahid dan ‘Utsman ibn Thalhah menuju Madinah menyatakan keislaman.
Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang dirindukan,
dimuliakan begitu rupa.
Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu
tampak dari sikap, kata-kata, dan perilaku Sang Nabi padanya. Hari itu dia
merasa Sang Rasul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun.
Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi
da’wah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya
Rasullullah”, dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah
yang paling kau cintai?”
Sang Nabi tersenyum, “Aisyah.” Katanya.
“maksudku,” Kata ‘Amr, “dari kalangan laki-laki.”
“Ayah Aisyah.” rasulullah terus saja tersenyum padanya.
“Lalu siapa lagi?”
“Umar.”
“Lalu siapa lagi?”
“’Utsman,” dan beliau terus tersenyum.
“Setelah itu,” kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku
menghentikan tanyaku, Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr
tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Khalid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad
adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan
paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran
saat ditanya.
Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling
menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang
merasa istimewa, merasa berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam
ketulusan yang utuh.
***
Ehm begitulah prolog yang nitha dapat…J
Dalam sabda Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam yang menghimbau
kita untuk bercermin. Seperti Narcissus, tapi bukan di telaga.
“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang
lain.”
Bercerminlah, tetapi bukan untuk mengagumi baying-bayang sendiri
seperti Narcissus atau telaganya. Namun lebih menjadikan sesame peyakin seperti
cermin, dan melihatnya secara seksama. Jika kita menemukan sesuatu yang tidak
berkenan di hati kita dalam bayangan itu, kita tahu, harus memperbaikinya. Tetapi
bukan memperbaiki bayangan itu melainkan diri kita yang sedang mengaca…J
Semoga kita semua mendapaat ibroh dari tulisan ini yaa
teman-teman..aamiin…J
semangkA (semangat karena Allah)…J
see you bye bye…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar