Sabtu, 27 Oktober 2012

..Dua Telaga..


Assalamu’alaykum readers…J

Kali ini nitha akan mengangkat sebuah kisah yang mungkin sudah pernah kita dengar atau sudah kita ketahui, namun mungkin ada juga yang belum mengetahuinya.

Sebenarnya nitha juga baru kali pertama ini membaca kisahnya, sehingga nitha ingin berbagi pengetahuan kepada sahabat-sahabat nitha di dunia maya ini…J. Kisah ini terdapat di dalam prolog sebuah buku yang berjudul “Dalam Dekapan Ukhuwah” karya Salim A.Fillah/Pro-U Media.

Nitha mendapat prolog ini juga dari sahabat nitha yang notabene juga di dunia maya, kita saling mengirim kabar dan saling bertukar pengalaman atau bahkan saling bertukar kisah hidup satu sama lain melalui surat elektronik (red:email). Masyaallah indahnya ukhuwah islamiyah, walau terpisah ribuan kilometer, tetapi merasa dekat di hati…J

Eh malah nitha jadi cerita panjang lebar nich…hehe. Ya udda yuks langsung kita simak prolog yang nitha dapat…J

TELAGA ITU LUAS, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi sepapak daun tlinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya menghadap hadirin dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhabban ayyuhal insaan! Silakan mendekat,silahkan minum!”

Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”

Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu lebih manis dari madu, dan lebih sejuk daripada salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.

Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi.
***

Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di air telaga. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yan menegaskan di kulit putihnya.

Lelaki itu, kita tahu , Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah ditolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.

Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntuk bunga. Orang-orang menyebut kembang itu, Narcissus.
Selesai

Tetapi Paulo Coelho punya anggitan lain untuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada diriya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.

“Mengapa kau menangis?” Tanya para peri.
Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus,” katanya.
“oh, aku heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”
“oh, indahnya Narcissus?”
Para peri hutan saling memandang “ siapa yang mengetahuinya lebih daripadamu?” kata salah seorang “di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”
Sejenak hening menyergap mereka .”aku menangisi Narcissus”, kata telaga kemudian, “tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangisi karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”
***

Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.

Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari sesame, seperti apa yang kita tabor pada mereka. Dari jaraknya, para peri memang takjjub, namun dalam ketidaktahuan. Sementara telaga itu hanya menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiaap-tiap jiwa hanya takjub pada dirinya.

Tetapi ‘Amr ibn Al-‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surgapun masih menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. Telah belasan tahun menjadikan silat lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu setelah hari Hudaibiyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama Khalidibn Al Wahid dan ‘Utsman ibn Thalhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang dirindukan, dimuliakan begitu rupa.

Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu tampak dari sikap, kata-kata, dan perilaku Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rasul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun. Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi da’wah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya Rasullullah”, dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah yang paling kau cintai?”

Sang Nabi tersenyum, “Aisyah.” Katanya.

“maksudku,” Kata ‘Amr, “dari kalangan laki-laki.”

“Ayah Aisyah.” rasulullah terus saja tersenyum padanya.

“Lalu siapa lagi?”

“Umar.”

“Lalu siapa lagi?”

“’Utsman,” dan beliau terus tersenyum.

“Setelah itu,” kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku menghentikan tanyaku, Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Khalid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.

Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.
***

Ehm begitulah prolog yang nitha dapat…J
Dalam sabda Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam yang menghimbau kita untuk bercermin. Seperti Narcissus, tapi bukan di telaga.

“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang lain.”

Bercerminlah, tetapi bukan untuk mengagumi baying-bayang sendiri seperti Narcissus atau telaganya. Namun lebih menjadikan sesame peyakin seperti cermin, dan melihatnya secara seksama. Jika kita menemukan sesuatu yang tidak berkenan di hati kita dalam bayangan itu, kita tahu, harus memperbaikinya. Tetapi bukan memperbaiki bayangan itu melainkan diri kita yang sedang mengaca…J

Semoga kita semua mendapaat ibroh dari tulisan ini yaa teman-teman..aamiin…J

semangkA (semangat karena Allah)…J
see you bye bye…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar