Aku tulis catatan ini ketika
aku terombang-ambing ditelan kesepian dan ragu yang deras mengimpit.
Dini hari menjelang pagi
datang, ditengarai sepi dan luka yang menghujam tajam, untuk kesekian kalinya
aku mencoba menyapa cintamu.
Tapi tak ada jawab.
Yang kutemui hanya lembap
udara yang berembus panas.
Tak ada gerimis turun, membuat
terik matahari bebas menerabas daun-daun dan jatuh di wajah tanah merah dan
aspal.
Gerah segera berubah peluh.
Menyatu bersama degup
jantungku yang mulai kehilangan jejakmu.
Kemana gerangan engkau pergi?
Dua tahun bukan waktu yang
pendek buat orang seperti aku.
Yang selama ini selalu mencoba
setia menjaga segala rindu dan cinta, untukmu.
Mungkin terdengar klise atau
malah bodoh.
Tapi setidaknya itu yang
kurasakan detik ini; gelisah dan pencarianku menyatu bersama kangen yang
menumpuk dan mengecup penantian yang tak kunjung berakhir.
Apakah kau inginkan
kesendirian saat ini?
Ketika semua mata menelaah
segala apa yang kau lakukan.
Ketika jiwamu dalam
ketidakpastian; menyelami diri, berkaca dari dasar hati dan menelan manis-pahit
kehidupan.
Apa yang kau dapatkan?
Kesempurnaan dari sebuah debat
hati ataukah pengakhiran dari sebuah perenungan?!
Detik ini, aku hanya bisa
bertanya sekali lagi; kemana sebenarnya engkau pergi?
Ajari aku mencari peta raga,
jiwa, dan hatimu.
Karena yang kuyakini dan
kudapatkan kini jelas sudah: hatimu ternyata bukan untukku, ternyata.
Terima kasih untuk setiap
sentimeter kebahagiaan yang telah kau berikan.
Berbahagialah dengan kekasih
pilihan hatimu.
Aku akan coba untuk “rela”;
merelakan hatimu untuk orang lain, bukan untukku.
Dikutip dari buku “Cinta itu,
Kamu” dengan pengarang Moammar Emka. (^_^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar